JAYAPURA, KOMPAS.com – Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua Fred James Boray mengakui, aktivitas penambangan ilegal di Papua terus terjadi dan menyebabkan kerugian dari sisi materil dan juga kerusakan alam. Menurut dia, belum ada perhitungan pasti berapa jumlah total kerugian secara materil, namun ia meyakini angkanya mencapai triliunan karena aktivitasnya telah berjalan cukup lama. “Tambang rakyat ilegal di Papua sudah mulai ada pada 1997 waktu krisis moneter, pertama ditemukan di Nabire. Kerugiannya pasti sudah di atas Rp 1 triliun,” ujar Fred, di Jayapura, Rabu (5/8/2020).
Menurut dia, hingga kini, hanya ada satu pertambangan rakyat yang legal di Papua, yaitu di Distrik Senggi, Kabupaten Keerom. Baca juga: Supiori Jadi Kabupaten Pertama di Papua yang Gelar Pembelajaran Tatap Muka Izinnya pun sudah diberikan sejak 1999, dan sejak saat itu Pemprov Papua belum mengeluarkan izin pertambangan rakyat lagi. Sedangkan untuk aktivitas pertambangan ilegal yang termonitor oleh aparat dan pemerintah tersebar di beberapa kabupaten. “Tambang-tambang ilegal itu ada di Supiori, Kota Jayapura, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Boven Digoel, Nabire, Paniai,” kata Fred. Untuk mengeluarkan izin pertambangan rakyat, terang Fred, diperlukan keputusan penetapan wilayah pertambangan rakyat yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. Dari penetapan tersebut, kemudian Pemprov Papua bisa mengeluarkan izin pertambangan rakyat untuk perorangan atau koperasi.
Fred mengaku, pada 2019, Pemprov Papua mengajukan permohonan penetapan wilayah pertambangan rakyat sebagai salah satu upaya penertiban aktivitas tambang ilegal, namun hingga kini belum disetujui.
“Sebenarnya langkah-langkah penertiban itu kami sudah ajukan kepada menteri untuk penetapan wilayah, sehingga aktivitas ilegal ini bisa jadi legal, kami sudah ajukan di Agustus 2019. Yang kami ajukan untuk Pegunungan Bintang itu 16 blok dengan totalnya 390,84 hektare, begitu pun blok Yahukimo kami usulkan sekitar 11 blok dengan totalnya 268,5 hektare,” kata Fred.
Ada beberapa kendala yang ditemui untuk melakukan penertiban aktivitas pertambangan ilegal. Fred menyebut, setidaknya ada dua faktor penting yang sejauh ini menghambat pemerintah melakukan penertiban. “Masalahnya ada dua, yaitu kawasan konservasi dan belum adanya peta hak ulayat,” kata dia.